Bapak, ibu, dan saudara/i sekalian bahwasanya anda duduk di depan, di tengah, atau pun dibelakang adalah sama saja. Tak ada seorang pun dari anda yang tidak diberkatiNya. Amin ? Halo, apakah ada Amin ? (jemaat pun serentak menjawab : Amin dan Haleluya). Tapi pada hari ini saya terdorong untuk menyampaikan kepada anda semua bahwa sehabis kebaktian ini, saya memohon bagi anda semua yang duduk di kursi deretan paling belakang, baik di sebelah kiri dan kanan untuk tidak pulang dulu karena saya ingin berbicara, “ begitu kata pak gembala sebelum memberikan berkat dan menutup acara kebaktian.
Maka saat semua orang telah meninggalkan ruangan kebaktian, kecuali beberapa orang yang duduk pada deretan kursi paling belakang, pak pendeta bertanya satu per satu apa alasan mereka duduk di bagian belakang. Pertama, sepasang suami isteri yang bilang mereka datang terlambat sebab jalanan macet dan cari lahan parkir susah sehingga akhirnya kebagian duduk di deretan paling belakang. Baik, anda berdua silahkan pulang. Kedua, alasan dari seorang anak muda bahwa kursi deretan paling depan dan tengah sudah penuh jadi yang tersisa hanyalah kursi di deretan paling belakang. Ok, silahkan pulang mas. Ketiga, seorang wanita memilih duduk paling belakang karena lebih nyaman sebab telinganya kagak kuat dengan bisingnya alat musik. Oh, baiklah terima kasih, sekarang tante silahkan pulang. Keempat, karena tadi angkot tidak ada terpaksa naik ojek. Baik, silahkan om pulang. Kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, dan seterusnya.
Tinggal yang paling akhir seorang bapak, sebab ia sudah tahu apa yang akan ditanyakan pak pendeta, saat gilirannya bapak ini langsung menjawab sambil menangis : saya duduk di bagian paling belakang sebab saya tidak yakin apakah saya beneran seorang anakNya atau hanya anak angkat.
Percayalah, senantiasa ada di dalam setiap kebaktian orang-orang seperti bapak tadi. Atau bahkan diri kita sendiri. Kita datang ke gereja oleh sebab keyakinan di dalam rumah Tuhan itu ada jawaban, ada solusi. Bagi anda yang mengklaim diri dewasa iman – harap jangan salahkan pandangan seperti ini, tapi salahkanlah para gembala sidang yang tanpa sadar membentuk persepsi dan konsepsi dalam benak jemaat bahwa gereja jadi tempat pesugihan, tempat ngalap berkah, dan seterusnya. Disamping tempat paling aman serta nyaman buat menumpang hidup secara harafiah bagi rezim yang sedang berkuasa atas namaNya.
Gereja bukan lagi murni persekutuan vertikal – horizontal sepenuh, tetapi persekutuan mekanis-program dengan setumpuk sanksi yang sebagian besar tidak tertulis, melainkan ada di dalam ruang imaji penafsiran komunal. Seperti nilai kesetiaan kedatangan dalam setiap kebaktian dan kegiatan jauh lebih tinggi bobotnya ketimbang anugerah iman yang dihidupkan lewat tindakan di dalam keseharian hidup. Nilai penundukan diri lebih dihargai ketimbang keberanian untuk menyatakan mana yang benar dan mana yang salah di dalam terang Firman Tuhan. Jadi ada pemutarbalikan nilai-nilai kristiani yang celakanya kadung diaminkan, diterima dan diikuti para jemaat.
Maka saking gaduh dan pikuknya dengan segala macam proposal program serta seremonial peribadahan dengan klaim Tuhan bertahta di atas pujian, gereja lalai hanya untuk mendeteksi dan tidak mampu memberikan jawaban bagi pertanyaan dari seseorang yang duduk pada kursi di bagian belakang. Karena gereja telah lama tidak menukik pada kebutuhan setiap pribadi jemaat beserta keluarganya. Gereja menjadi asing karena telah menjelma sebagai makhluk yang tidak lagi mengusung kasih, melainkan makhluk yang sarat dengan pelbagai paket tuntutan. Tuntutan dari yang paling remeh sampai tuntutan yang paling berat. Dari kerap menyuruh tepuk tangan, beri salam kiri dan kanan, hingga kewajiban ini dan itu. Akibatnya gereja tidak lagi memiliki hati untuk hening sejenak buat mendengar orang-orang seperti yang diwakili oleh bapak tadi. Yang pada hakekatnya sebuah pertanyaan asali dan bersahaja yang menuntut jawaban : apakah saya beneran seorang anakNya atau anak angkat.
Persoalannya adalah untuk yang di dalam saja gereja sudah abai. Apalagi gereja mampu melakukan perintahNya prihal Kabar Keselamatan bagi mereka yang berada di luar sana. Yang kerap disebut dengan istilah rohani-chauvinistik bukan orang percaya atau bukan anak-anakNya.
Jika anda sebagai gembala masih sulit juga menangkap makna yang saya paparkan di atas, saya akan berikan sedikit clue – pada hari Minggu mendatang cobalah sedikit memberikan perhatian kepada domba-dombaNya yang duduk pada deretan kursi bagian paling belakang. Bersiap dirilah dengan fakta yang mengguncangkan bahwa Roh Kudus telah lama menangisi orang yang akan berbalik bertanya pada anda : apakah saya beneran anakNya atau anak angkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar