Selama berabad-abad, sejarah manusia telah diisi oleh karya agung Tuhan. Di akhir milenium ini, kita harus mempunyai visi dunia yang bersifat adikodrati dan kearifan untuk mengetahui bagaimana menerapkannya (di dalam keseharian hidup kita). Tragisnya, meskipun kita hidup di dunia yang sangat rohani, dan meskipun alam ini penuh misteri dan keajaiban, tetapi gereja sekarang seperti Cinderella yang menderita amnesia, yang telah melupakan keajaiban yang membuatnya menjadi permaisuri ’ (Healing The Land, Winkie Pratney, 1993).
Tulisan Winkie Pratney dua puluh dua tahun lalu yang tetap relevan hingga saat ini. Gereja masih tetap seperti Cinderella yang menderita amnesia. Sampai disini jika anda merasa terganggu, demi keselamatan diri sebaiknya anda berhenti membaca tulisan saya ini. Jika tidak, silahkan meneruskan membaca dan saya berterima kasih untuk waktu anda.
Saya mantan aktivist parachurches - kalau boleh saya menyebut demikian. Selama 4 tahun saya memimpin sebuah lembaga pelayanan nasional untuk wilayah dua kota di Jatim, 6 tahun sebelumnya bergiat diri dalam beberapa persekutuan, ditambah menjadi youth pastor. Waktu yang sebenarnya keterlaluan lamanya buat saya mengambil keputusan untuk menjadi seorang jemaat biasa saja. Mungkin oleh sebab diri saya sebagai pribadi yang amat tidak betah dikerangkeng dengan paham dan praktek agamawi. Yaitu penekanan pada doktrin, ritual, program, pengajaran, soal nama sebutan Bapa, perpuluhan, organisasi, dan pelbagai bentuk lainnya yang sekilas punya dasar pijakan – tapi secara totalitas tanpa disadari menggeser peran dan fungsi Tuhan yang berdaulat penuh. Itulah gereja yang dimaksud Winkie Pratney di atas dan kita saksikan pada saat ini.
Saya sungguh menikmati menjadi seorang jemaat biasa pada sebuah gereja. Walau dengan catatan soal ajakan doa semalam-malaman buat mengetahui pesan tuhan dan merasakan hadiratnya ; bagi saya sebuah pelecehan berat sebab jika saya ikutan maknanya saya memperlakukan Bapa tak ubahnya seperti mereka yang rajin pergi ketempat-tempat keramat. Tanpa saya harus begadang, jika Bapa ingin berpesan dan membuat diri saya merasakan hadiratNya – di dalam angkot pun bisa terjadi. Juga saat ibadah soal diminta bebaskan rohmu, angkat tangan, bersalaman kiri kanan depan belakang, disuruh tos dan ucapkan kalimat yang diminta oleh pemimpin pujian ; sungguh membuat diri saya tidak nyaman – sebenarnya bukan soal-soal tadi tapi lebih kepada ucapan implisit pemimpin pujian yang menyatakan mereka yang diam saja tidak bersukacita. Dan yang tergawat adalah rohnya terikat sesuatu sehingga tidak bisa ikutan bersorak. Juga soal kehadiran mengikuti ibadah setiap hari minggu, doa semalam-malaman, persekutuan doa lingkungan, dan sebagainya yang cenderung dijadikan tolok ukur soal kesetiaan kepada tuhan. Serta pelbagai hal lainya yang tidak ingin saya ungkapkan karena saya sudah terlalu lelah dan muak dengan pemahaman dan praktek agamawi model beginian.
Pandangan saya di atas kian bertambah dengan keseharian hidup mereka yang menyebut anak tuhan, orang percaya, dan sebutan stereotip lain yang terkadang tidak lazim baik dalam tata bahasa maupun kosa kata Bahasa Indonesia ; yang berbeda jauh bak panggang dan api. Anda jangan gusar dulu dengan pernyataan saya yang berdasarkan pengalaman pribadi bahwa dari semua permasalahan yang saya hadapi nyaris seluruhnya berasal dari mereka yang mengklaim diri sebagai anak tuhan, orang percaya, orang benar, dan semacamnya yang beraroma kristen-chauvinistik. Dari permasalahan sepele seperti pinjam buku dari koleksi pribadi saya tapi tidak pernah dikembalikan, sampai soal berskala besar sehingga saya kehilangan segalanya.
Akhirnya saya tiba pada kesimpulan bahwa kekristenan itu bukan agama, kekristenan itu pada hakekatnya adalah perjumpaan dan persekutuan pribadi dengan Bapa. Karena jika masih diletakkan dalam ranah agama, ujungnya bisa ditebak kemana akan dilarikan. Tapi jika perjumpaan dan persekutuan pribadi sungguh akan berbeda dan akan menjadikan diri kita sebagai manusia baru yang sebaru-barunya.
Jadi tidaklah aneh jika kemudian saya lebih nyaman dalam bidang misi. Sehingga dua dari tiga anak saya memilih jalan hidupnya menjadi misionaris yang bergantung penuh pada Bapa – sebab kedua anak saya harus membayar dan bukan dibayar alias memperoleh persembahan kasih buat terjun dalam pelayanan misi.
Kalau anda belum mengenal diri dan pribadi saya dengan baik dan berpikir bahwa anda merasa digerakkan tuhan buat mencerahkan diri saya, mohon maaf jangan merepotkan diri dan membuang waktu anda, sebab sayapun tidak ingin direpotkan dan buang-buang waktu saya bagi anda. Pasalnya, saya senantiasa menerapkan prinsip sepakat untuk tidak sepakat dan tetap saling menghormati satu sama lain kendati kita berbeda.
Percayalah saya bukan penganut aliran sesat, paham humanisme, apalagi liberalisme dan masuk golongan free thinkers. Saya tetap seorang kharismatik yang mungkin belum sepenuhnya bagi mereka yang sebentar-bentar omong shalom dan haleluyah. Saya mengakui Alkitab sebagai Ya dan Amin, menerima Pengakuan Iman Rasuli, Perjamuan Kudus, serta peran aktif dan manifestasi Roh Kudus. Juga tetap berpandangan saya harus berjemaat pada sebuah gereja kendati bak Cinderella yang terkena amnesia tadi. Karena saya tetap harus belajar menundukan diri saya pada siapa pun yang menjadi pimpinan jemaat – bukan karena takut kualat tapi soal penundukan diri yang amat penting bagi saya - setidaknya membuat saya senantiasa sadar bahwa diri saya belum tentu selalu benar. Jadi walau gereja bak Cinderella yang menderita amnesia, paling sedikit saya masih memiliki sepatu kacanya. Karena dalam anugerah iman saya meyakini Mempelai Pria itu akan datang menjemput pada saat tengah malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar