Who Is The Capernaum

Jembrana - Bali, Bali, Indonesia
Beloved Husband And Dad For Three Uniq Kids

Jumat, 16 Maret 2018

MOMENT YANG TEPAT



Dunia mengenal satu kata yaitu batasan yang dibuat untuk membedakan antara satu fenomena dengan fenomena lainnya. Pembedaan memang dibutuhkan untuk mempermudah kita memaknai serta sebagai wadah pembenaran tempat berlangsungnya sejumlah tindakan hukum, sosial, budaya, dan lainnya dilakukan.Tapi batasan yang berujung pada pembenaran untuk fenomena tertentu bisa jadipetaka di luar nalar. Yang menjungkir-balikan martabat dan akhlak kemanusiaan kita sendiri.

Anak-anak. Dimana pun dalam pelbagai aspeknya memang dibedakan sebagai manusia yang berkekurangan (jika tidak disebut : berketerbatasan) baik dari segi fisik, psikis, intelegensia, reproduksi, dan lainnya dengan tujuan untuk memperoleh perlindungan, pendidikan, serta bimbingan baik dari orang tua, keluarga, kerabat, pendidik, rohaniawan, masyarakat, hingga pemerintah.

Tapi satu hal yang terluput bahwa pembedaan ini punya implikasi penggadaian diri anak sebagai subjek yang berpribadi oleh karena anggapan berkepanjangan terhadap ketidakberdayaannya. Percayalah, secara statistik dari sepuluh anak hanya satu yang diperlakukan sebagai subjek dan bukan objek (Human Development Index 2014). Jelas bahwa anak itu sebagai seorang anak yang amat beruntung yang pernah dilahirkan di dalam dunia. Sementara sembilan anak lainnya adalah korban berkepanjangan bahkan hingga mereka mencapai usia berkategori dewasa. Dalam kondisi tertentu mereka menjelma menjadi manusia-manusia retak traumatis karena cedera tikaman masa lalu.

Terlebih dengan anak-anak yang hidup dikawasan-kawasan bermasalah. Oleh sebab peperangan, wabah penyakit,  kekeringan, dan pelbagai masalah mematikan lainnya. Dalam kondisi seperti ini tingkat penderitaan yang ditanggung seorang anak dan tingkat mortalitas anak dipastikan berkali lipat dibandingkan yangdialami seorang dewasa.

Tak ada seorang anak pun yang pernah meminta dirinya untuk dilahirkan. Itulah sebabnya seorang anak diartikan sebagai anugerah dan titipan Sang Khalik, yang mestinya diperlakukan amat istimewa.Paling tidak sebagai subjek yang berpribadi betapa pun faktanya sebagai seorang anak, ia seorang manusia yang lemah dan berkekurangan dalam pelbagai hal.

Bulan Desember adalah momen yang tepat untuk kita merenungkan kembali sambil mempertanyakan apakah memang sungguh diperlukan segenap pembedaan yang kita kenal selama ini terhadap diri seorang anak, seperti seorang anak dikatakan dewasa jika ia berusia 17 tahun. Kalau pada akhirnya anak sejak lahir hingga dewasa pun tetap dijadikan objek baik oleh ambisi dan pemahaman usang orang tua hingga akhirnya berujung pada tindak kesewenangan manusia dewasa atau institusi lainnya. Bisa jadi perenungan kita ibarat nasi basi beraroma busuk soalnya sebuah contoh telah terjadi lebih dari 2.000 tahun lalu. Ketika anak-anak berusia di bawah dua tahun dibantai di Betlehem, karena nafsu kekuasaan seseorang yang bernama Herodes. Kini persoalannya apakah anda telah memperlakukan anak-anak anda sebagai subjek yang berpribadi. Percayalah, kehidupan dan penghidupan anak-anak anda sendiri kelak yang akan menjawabnya saat kita telah uzur. Marilah, kita segera bercermin mumpung paras kita belum memerah karena rasa malu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar